Sambutan Hangat Masyarakat Indonesia yang berkesan bagi Paus Fransiskus
Internasional | 06 Sep 2024 - 20:43 WIB
2024-11-20 20:24:10
JelajahJawa.id (20/11) Dalam kehidupan sehari-hari, emosi memiliki peran penting dalam membentuk cara manusia berinteraksi dengan lingkungan dan orang lain.
Namun, bagi sebagian orang mengidentifikasi, mengalami, atau mengungkapkan emosi bisa menjadi tantangan besar. Kondisi ini dikenal sebagai alexithymia yang berasal dari bahasa Yunani berarti tidak ada kata untuk emosi.
Meski tidak dikategorikan sebagai gangguan mental dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), alexithymia adalah fenomena yang sering diamati oleh para ahli kesehatan mental.
Kondisi ini memengaruhi sekitar 10% populasi global dan dapat muncul bersamaan dengan gangguan mental lainnya seperti depresi, kecemasan, atau PTSD. Selain itu, alexithymia sering ditemukan pada individu dengan gangguan spektrum autisme dengan prevalensi mencapai 33% hingga 66%.
Orang dengan alexithymia biasanya menunjukkan beberapa gejala khas, seperti:
Kesulitan mengenali dan mengidentifikasi emosi baik pada diri sendiri maupun orang lain.
Kebingungan dalam membedakan emosi dengan sensasi tubuh yang berhubungan dengan emosi, seperti merasa lapar atau lelah.
Sulit mengomunikasikan perasaan kepada orang lain.
Minimnya empati dan kesulitan menafsirkan ekspresi sosial, seperti nada suara atau ekspresi wajah.
Gaya berpikir kaku dan logis, tanpa memperhitungkan faktor emosional.
Kurangnya imajinasi dan fantasi.
Keterampilan koping yang buruk, membuat individu rentan terhadap stres.
Kondisi ini dapat berdampak pada hubungan interpersonal, menghambat kemampuan seseorang untuk membangun hubungan sosial yang sehat.
Meski belum sepenuhnya dipahami, penyebab alexithymia diduga melibatkan berbagai faktor:
Baca Juga: Paparan Polusi Udara yang Tinggi, Sebabkan Risiko Serangan Jantung
Genetik dan Neurologis
Alexithymia sering dikaitkan dengan kerusakan pada insula, bagian otak yang bertanggung jawab atas emosi, empati, dan keterampilan sosial. Lesi pada insula juga dapat menyebabkan gangguan lain seperti apatis, kecemasan, dan depresi.
Trauma Masa Kecil
Pengalaman traumatis, terutama selama masa kanak-kanak, diketahui dapat memengaruhi perkembangan otak sehingga mempersulit seseorang untuk merasakan dan mengidentifikasi emosi.
Kondisi Neurologis Lain
Penelitian menunjukkan hubungan alexithymia dengan beberapa kondisi neurologis, seperti Alzheimer, Parkinson, epilepsi, dan cedera otak traumatis.
Alexithymia memiliki dampak signifikan pada kehidupan penderitanya. Mereka cenderung memiliki kepuasan hidup yang rendah, sulit beradaptasi dengan perubahan, dan kesulitan membangun hubungan emosional. Dalam konteks sosial, kesulitan ini dapat mengakibatkan isolasi dan miskomunikasi.
Meski alexithymia bukan kondisi yang dapat disembuhkan, pendekatan tertentu dapat membantu penderitanya untuk lebih terhubung dengan emosi mereka.
Beberapa metode yang dapat diterapkan meliputi:
Latihan pelabelan emosi, seperti menghubungkan sensasi fisik dengan istilah emosional.
Terapi psikologis, seperti terapi kognitif perilaku untuk meningkatkan kesadaran emosional.
Dukungan sosial yang melibatkan lingkungan keluarga dan teman.
Baca juga : Kementan Targetkan Petani Milenial Raup Rp10 Juta Per Bulan
Baca juga : Pertama di Indonesia, Rumah Sakit ini Berhasil Lakukan Bedah Jantung Robotik
Pewarta : Ami Fatimatuz Zahro'
Sambutan Hangat Masyarakat Indonesia yang berkesan bagi Paus Fransiskus
Internasional | 06 Sep 2024 - 20:43 WIB
Entertainment | 22 Nov 2024 - 16:12 WIB
Entertainment | 22 Nov 2024 - 16:03 WIB
Entertainment | 22 Nov 2024 - 15:57 WIB
Entertainment | 21 Nov 2024 - 14:35 WIB
Entertainment | 21 Nov 2024 - 14:23 WIB
Financial | 02 Sep 2024 - 11:32 WIB
Internasional | 02 Sep 2024 - 11:55 WIB
Lifestyle | 04 Sep 2024 - 19:37 WIB
Entertainment | 04 Sep 2024 - 20:18 WIB