
Fenomena Hujan Meteor Quadrantids: Simak Puncaknya pada 3-4 Januari 2025
Edu/Tech | 04 Jan 2025 - 23:29 WIB
2025-07-22 14:32:19
Dalam beberapa tahun terakhir, isu kesehatan mental mulai mendapat perhatian di berbagai ruang publik, termasuk dunia kerja. Namun, di banyak tempat kerja—terutama di Asia dan negara berkembang seperti Indonesia—mental health masih dianggap isu sensitif, bahkan tabu. Padahal, kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik, terutama dalam konteks produktivitas, relasi antarkaryawan, dan kualitas keputusan kerja.
Berikut ini adalah tujuh fakta tentang kesehatan mental di dunia kerja yang menggambarkan realitas, tantangan, dan harapan yang masih perlu diperjuangkan bersama.
1. Kesehatan mental memengaruhi kinerja dan produktivitas secara langsung
Karyawan yang mengalami stres berat, cemas berlebihan, atau burnout tidak hanya kehilangan motivasi, tapi juga mengalami penurunan kemampuan fokus, kreativitas, hingga efektivitas kerja. Sebuah studi dari World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa gangguan kecemasan dan depresi menyebabkan kerugian ekonomi global sebesar USD 1 triliun per tahun akibat menurunnya produktivitas kerja.
Kesehatan mental bukan isu pribadi, tapi isu organisasi. Karyawan sehat secara mental = perusahaan lebih produktif.
2. Burnout bukan sekadar “capek kerja” biasa
Burnout atau kelelahan emosional kronis sering disalahartikan sebagai lelah biasa. Padahal, burnout adalah kondisi psikologis serius yang ditandai dengan kelelahan emosional, sinisme terhadap pekerjaan, dan rasa tidak mampu. Burnout kini bahkan sudah diakui WHO sebagai fenomena medis dalam ICD-11 (International Classification of Diseases).
Burnout bukan alasan “malas”, melainkan sinyal bahwa sistem kerja perlu dievaluasi.
3. Banyak pekerja takut bicara tentang kesehatan mental karena stigma
Meski isu mental health makin dibahas, stigma masih kuat di tempat kerja. Banyak karyawan enggan mengaku sedang stres berat, depresi, atau kecemasan karena khawatir dianggap tidak profesional, lemah, atau tidak “tahan banting”. Di banyak budaya kerja, kesehatan mental masih dianggap sebagai aib yang tidak pantas dibicarakan secara terbuka.
Perlu dibangun budaya kerja yang aman dan terbuka agar karyawan tidak takut mencari bantuan saat butuh.
4. Atasan dan HR jarang dilatih memahami isu mental health
Sebagian besar pimpinan atau HRD tidak mendapat pelatihan yang memadai tentang cara mendeteksi, merespons, dan menangani masalah kesehatan mental di lingkungan kerja. Akibatnya, banyak kasus stres berat atau depresi yang tidak tertangani karena dianggap remeh, bahkan kadang disalahartikan sebagai masalah sikap.
Perusahaan perlu memberi pelatihan literasi mental health bagi pemimpin dan manajer, bukan hanya karyawan.
5. Jam kerja panjang dan tekanan target jadi penyumbang utama gangguan mental
Lembur yang tak kenal waktu, target tinggi yang tidak realistis, minimnya jeda istirahat, serta komunikasi yang buruk adalah faktor pemicu utama gangguan mental di tempat kerja. Menurut survei dari Gallup, hampir 76% karyawan mengalami burnout akibat beban kerja berlebihan, sementara 21% mengalaminya “setiap hari”.
Produktivitas bukan soal siapa yang kerja paling lama, tapi siapa yang kerja paling sehat.
6. Generasi muda lebih terbuka bicara soal mental health — tapi tetap butuh sistem yang mendukung
Generasi Z dan milenial dikenal lebih berani mengangkat isu kesehatan mental dibanding generasi sebelumnya. Mereka cenderung terbuka membicarakan stres, burnout, dan kebutuhan akan work-life balance. Namun sayangnya, tempat kerja yang masih konservatif sering kali tidak menyediakan ruang yang mendukung kebutuhan ini.
Keberanian bicara perlu didukung oleh sistem, bukan dimatikan oleh stigma.
7. Perusahaan yang peduli mental health terbukti lebih tahan krisis dan lebih disukai pekerja
Berbagai riset menunjukkan bahwa perusahaan yang punya program kesejahteraan mental seperti konseling, flexible working, dan hari libur untuk kesehatan mental (mental health day) memiliki tingkat retensi karyawan lebih tinggi, reputasi yang lebih baik, dan performa yang lebih stabil di masa krisis.
Menjaga mental health bukan beban biaya, melainkan investasi jangka panjang.
Mental Health Itu Hak, Bukan Pilihan Tambahan
Sudah saatnya dunia kerja memperlakukan kesehatan mental dengan serius, bukan hanya slogan kampanye HR atau formalitas tahunan. Karyawan adalah manusia, bukan mesin. Mereka punya batas, perasaan, dan kebutuhan emosional. Ketika perusahaan mampu membangun budaya yang sehat dan suportif, bukan hanya karyawan yang tumbuh, tetapi juga perusahaan secara keseluruhan.
Karena kesehatan mental yang baik bukan hanya membuat kita bisa bekerja — tetapi membuat kita bisa hidup dengan utuh.
Baca juga : Demo Mahasiswa di Depan Istana: PPN 12 Persen Bukan Solusi
Baca juga : “The Accountant” Hadir di Netflix, Sekuel Dijadwalkan Rilis 2025
Pewarta : Riyadz
Fenomena Hujan Meteor Quadrantids: Simak Puncaknya pada 3-4 Januari 2025
Edu/Tech | 04 Jan 2025 - 23:29 WIB
Lifestyle | 22 Jul 2025 - 14:32 WIB
Lifestyle | 22 Jul 2025 - 14:24 WIB
Lifestyle | 22 Jul 2025 - 14:11 WIB
Lifestyle | 22 Jul 2025 - 14:05 WIB
Edu/Tech | 21 Jul 2025 - 11:10 WIB
Internasional | 02 Sep 2024 - 11:55 WIB
Lifestyle | 04 Sep 2024 - 19:37 WIB
Entertainment | 04 Sep 2024 - 20:18 WIB
Entertainment | 05 Sep 2024 - 18:43 WIB