Tak Wajibkan TKA, Mendikdasmen: Supaya Tidak Melanggar HAM

2025-04-15 11:28:10

Tak Wajibkan TKA, Mendikdasmen: Supaya Tidak Melanggar HAM
Sumber Gambar: Kompas

Kebijakan terkait keberadaan tenaga kerja asing (TKA) di sektor pendidikan kembali menjadi sorotan. Dalam konferensi pers yang digelar pada Senin (14/4), Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Dr. Arief Prasetyo, menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mewajibkan penggunaan tenaga kerja asing dalam institusi pendidikan dasar dan menengah. Keputusan ini diambil dengan alasan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) serta menjunjung tinggi prinsip kesetaraan dan kedaulatan nasional.


“Pendidikan bukanlah sektor yang bisa dikomodifikasi semata. Kita harus menjaga agar setiap kebijakan tetap berpijak pada nilai-nilai dasar, salah satunya adalah penghormatan terhadap HAM,” tegas Arief.


Pernyataan ini muncul di tengah polemik yang berkembang tentang kemungkinan pengangkatan tenaga kerja asing dalam posisi pengajar maupun struktural di beberapa sekolah swasta bertaraf internasional. Banyak pihak yang menyuarakan kekhawatiran akan dominasi TKA di ranah pendidikan, terutama menyangkut potensi diskriminasi terhadap tenaga pengajar lokal.


Tidak Ada Pemaksaan, Hanya Ruang Kolaborasi


Menurut Arief, meskipun pemerintah membuka peluang kerja sama internasional dalam pendidikan, hal itu tidak serta-merta menjadi alasan untuk memaksa penggunaan TKA di institusi pendidikan. Pemerintah hanya menyediakan ruang kolaborasi, bukan kewajiban.


“Kalau sekolah ingin mendatangkan tenaga pendidik dari luar negeri sebagai bagian dari program internasionalisasi, tentu diperbolehkan. Tapi tidak ada keharusan. Kita tidak ingin ada diskriminasi terbalik yang justru merugikan tenaga pendidik lokal,” ujarnya.


Ia menambahkan, saat ini Kemendikdasmen tengah menyusun pedoman etika perekrutan TKA di bidang pendidikan. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa seluruh proses rekrutmen berlangsung adil, transparan, dan berlandaskan hukum yang berlaku.


HAM di Garis Depan


Salah satu alasan kuat di balik keputusan ini adalah upaya untuk menghindari pelanggaran HAM, baik terhadap tenaga kerja asing maupun warga negara Indonesia. “Jika kita mewajibkan sekolah-sekolah mempekerjakan TKA, maka kita berisiko melanggar hak untuk bekerja bagi pendidik lokal. Di sisi lain, jika tidak memperjelas aturan main, kita juga bisa melanggar hak-hak TKA yang sudah direkrut. Ini titik krusial yang harus kita atur dengan bijak,” jelas Arief.


HAM, menurutnya, bukan hanya soal kebebasan sipil, tetapi juga soal keadilan sosial dan perlindungan terhadap akses pekerjaan. Oleh karena itu, pemerintah menolak segala bentuk pemaksaan yang dapat berujung pada ketimpangan dan konflik sosial di dunia pendidikan.


Respons Positif dari PGRI dan Pengamat Pendidikan


Keputusan Mendikdasmen ini mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan, termasuk dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Ketua Umum PGRI, Unifah Rosyidi, menyatakan bahwa langkah ini menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap tenaga pendidik lokal.


“Selama ini ada kekhawatiran bahwa internasionalisasi pendidikan akan membuka celah bagi eksploitasi. Tapi dengan sikap tegas Mendikdasmen, kami merasa lebih tenang. Kita butuh kolaborasi, bukan dominasi,” kata Unifah.


Pengamat pendidikan dari Universitas Indonesia, Dr. Reni Wulandari, juga menilai bahwa keputusan ini penting sebagai bentuk perlindungan terhadap profesi guru di Indonesia. Ia menegaskan bahwa tenaga kerja asing memang bisa menjadi mitra strategis dalam meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi tidak boleh menggusur posisi guru lokal.


“Fungsi TKA harus bersifat pengayaan, bukan pengganti. Jadi, wajar jika pemerintah menekankan tidak adanya kewajiban,” tutur Reni.


Menjaga Kedaulatan Pendidikan


Lebih jauh, kebijakan ini juga dipandang sebagai upaya menjaga kedaulatan pendidikan nasional. Arief menegaskan bahwa pendidikan adalah salah satu pilar kemandirian bangsa. Karena itu, pengaruh asing perlu disaring secara selektif agar tidak menggerus identitas dan nilai-nilai lokal.


“Kita tidak anti asing. Tapi kita ingin pendidikan di Indonesia tetap mencerminkan nilai-nilai Pancasila, budaya Nusantara, dan kebutuhan masyarakat kita sendiri. Untuk itu, keterlibatan asing harus dalam kerangka mutual respect, bukan dominasi,” tegas Arief.


Kesimpulan: Kolaborasi, Bukan Kewajiban


Kebijakan untuk tidak mewajibkan penggunaan TKA dalam sektor pendidikan dasar dan menengah menjadi sinyal kuat dari pemerintah bahwa kolaborasi internasional harus dijalankan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip HAM, keadilan sosial, dan kedaulatan nasional. Ke depan, harapannya adalah tercipta ekosistem pendidikan yang inklusif, terbuka, namun tetap berpijak pada kepentingan rakyat Indonesia.


Dengan pendekatan ini, pemerintah menunjukkan bahwa pembangunan pendidikan bukan semata-mata soal modernisasi, tetapi juga soal keberpihakan pada nilai, hak, dan martabat manusia.


Berita Lainnya

Document