
Mengintip Sumber Kekayaan Selena Gomez, Miliarder Termuda Amerika Serikat Kekayaan Capai Rp20T
Entertainment | 10 Sep 2024 - 19:26 WIB
2025-04-15 13:54:37
Jelajah Jawa – Pada Selasa, 15 April 2025 – “Yuk bisa yuk!” atau “Harus semangat dong!” adalah ungkapan-ungkapan yang sering kali terdengar saat seseorang sedang curhat. Sekilas terdengar positif dan penuh semangat. Namun, di momen tertentu, kalimat-kalimat ini bisa terasa menyakitkan alih-alih menenangkan. Bukannya merasa lega, si pencerita malah bisa merasa tidak dimengerti dan semakin tertekan.
Fenomena ini dikenal sebagai toxic positivity — kondisi di mana seseorang merasa dipaksa untuk terus berpikir positif, bahkan ketika sedang mengalami situasi sulit atau emosi negatif. Menurut Psikolog Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Dr. Riana Mashar, S.Psi., M.Si., toxic positivity justru bisa memperburuk kesehatan mental karena membuat seseorang merasa tidak bebas untuk jujur pada dirinya sendiri.
“Kadang yang dibutuhkan bukan solusi atau wejangan motivasi, tapi cukup kehadiran dan pengakuan bahwa perasaan mereka itu valid,” ujar Dr. Riana kepada Kompas.com.
Kenapa Harus Waspada dengan Toxic Positivity?
Niat awal dari memberi semangat tentu baik—kita ingin teman atau orang terdekat kita cepat pulih dari kesedihan. Namun, jika disampaikan tanpa empati dan pemahaman terhadap konteks emosionalnya, kalimat tersebut justru bisa terasa seperti penolakan atas apa yang sedang mereka rasakan.
Ucapan seperti, “Kamu harusnya bersyukur,” atau “Orang lain ada yang lebih susah, lho,” memang sering dimaksudkan sebagai pengingat, tapi di waktu yang salah, itu justru membuat si pendengar merasa bersalah karena sedang sedih. Bukannya terhibur, mereka malah merasa emosi mereka tidak valid, dan akhirnya menutup diri.
Efek lebih jauh, menurut Dr. Riana, bisa membuat seseorang merasa tidak aman untuk berbagi cerita. Mereka jadi lebih suka memendam perasaan sendiri, menjauh dari orang-orang, atau bahkan mengabaikan kebutuhan emosionalnya.
Kenali Tanda-Tanda Toxic Positivity
Tanpa sadar, kita bisa jadi pelaku toxic positivity terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri. Berikut beberapa tanda yang perlu diwaspadai:
Langsung memberi nasihat positif sebelum mendengarkan cerita secara utuh.
Merasa bersalah saat merasa sedih atau kecewa.
Memaksa diri untuk selalu tampak ceria di depan orang lain.
Menjauhi teman yang sedang curhat karena takut terbebani.
Kalau kamu pernah merasakan atau melakukan salah satu dari poin-poin di atas, tenang—itu bukan berarti kamu orang jahat. Ini justru jadi momen untuk belajar dan memperbaiki diri agar bisa menjadi pendengar yang lebih baik.
7 Cara Jadi Pendengar yang Bikin Nyaman
Berikut beberapa langkah sederhana namun bermakna agar kita bisa mendengar curhat tanpa menyakiti:
Tahan Diri untuk Langsung Menasihati
Tidak semua orang butuh saran. Terkadang, mereka hanya ingin didengarkan tanpa interupsi. Cukup dengan mengatakan, “Aku ngerti kamu lagi ngerasa berat,” bisa jauh lebih menenangkan daripada nasihat berapi-api.
Validasi Emosi, Bukan Menghakimi
Alih-alih bilang, “Kamu terlalu sensitif,” coba ubah jadi, “Wajar kok kamu ngerasa kayak gitu.” Kalimat ini menunjukkan bahwa kamu menghargai perasaannya, tanpa menganggap itu berlebihan.
Berikan Dukungan, Bukan Dorongan Paksa
Kalimat seperti, “Aku ada di sini kalau kamu butuh,” lebih memberi rasa aman dibanding, “Ayo dong, jangan baper terus.” Dukungan yang tenang dan tanpa tekanan membuat orang merasa diterima.
Perhatikan Bahasa Tubuh dan Nada Bicara
Mendengarkan bukan cuma soal telinga, tapi juga tentang mata dan hati. Kadang, ekspresi wajah dan nada bicara justru lebih jujur dibanding kata-kata. Tunjukkan empati melalui kontak mata dan sikap terbuka.
Hindari Perbandingan yang Tidak Perlu
“Kamu mah mending, ada orang yang lebih parah,” adalah contoh kalimat yang sebaiknya dihindari. Perasaan setiap orang valid dalam konteks masing-masing. Membandingkan malah bikin mereka merasa tidak berhak untuk sedih.
Beri Ruang untuk Diam
Kadang orang butuh waktu untuk merangkai kata atau menenangkan diri. Jangan merasa canggung saat suasana hening. Diam bisa jadi bentuk penghargaan atas proses berpikir dan merasa yang sedang mereka alami.
Bersikap Lembut Pada Diri Sendiri
Toxic positivity bukan hanya berlaku saat menanggapi orang lain, tapi juga diri sendiri. Kita kadang menuntut diri untuk terus kuat dan tidak boleh terlihat rapuh. Padahal, menurut Dr. Riana, merasa lelah, sedih, atau kecewa adalah bagian alami dari menjadi manusia.
“Kamu boleh merasa capek. Kamu boleh merasa nggak baik-baik saja. Itu bukan tanda lemah, tapi justru tanda bahwa kamu sedang berproses untuk pulih,” ujarnya.
Menjadi Pendengar yang Tulus
Menjadi pendengar yang baik bukan berarti harus memberikan solusi sempurna. Yang terpenting adalah kehadiran yang tulus, tanpa menghakimi, dan memberikan ruang aman bagi orang lain untuk jadi dirinya sendiri.
Sering kali, seseorang yang sedang terluka hanya butuh satu hal: orang yang benar-benar mendengarkan dengan hati, dan berkata pelan, “Aku di sini. Kamu nggak sendiri.”
Baca juga : Reshuffle Kabinet Indonesia 2024: Dampak Signifikan terhadap Ekonomi dan Keuangan
Baca juga : Kabar Duka! Aktor Park Min Jae Meninggal Karena Serangan Jantung
Pewarta : Muhammad Aditya Suryo
Mengintip Sumber Kekayaan Selena Gomez, Miliarder Termuda Amerika Serikat Kekayaan Capai Rp20T
Entertainment | 10 Sep 2024 - 19:26 WIB
Internasional | 28 May 2025 - 17:55 WIB
Hukum & Politik | 28 May 2025 - 17:17 WIB
Internasional | 28 May 2025 - 16:59 WIB
Hukum & Politik | 27 May 2025 - 13:59 WIB
Hukum & Politik | 27 May 2025 - 13:27 WIB
Internasional | 02 Sep 2024 - 11:55 WIB
Lifestyle | 04 Sep 2024 - 19:37 WIB
Entertainment | 04 Sep 2024 - 20:18 WIB
Entertainment | 05 Sep 2024 - 18:43 WIB