Pidana Kerja Sosial dalam KUHP Baru Berlaku 2026, Ini Aturan Lengkap dan Siapa yang Bisa Dijatuhi Hukuman

2025-12-31 14:38:22

Pidana Kerja Sosial dalam KUHP Baru Berlaku 2026, Ini Aturan Lengkap dan Siapa yang Bisa Dijatuhi Hukuman
Sumber Gambar: Ilustrasi Hukum/Freepik

kisahjawa.fypmedia.id - Penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 menandai babak baru sistem pemidanaan di Indonesia. Mulai 2 Januari 2026, berbagai ketentuan hukum pidana akan mengalami perubahan mendasar, termasuk hadirnya pidana kerja sosial sebagai salah satu bentuk hukuman utama yang sah secara hukum.

Kehadiran pidana kerja sosial dinilai sebagai langkah progresif untuk mengurangi ketergantungan pada pidana penjara jangka pendek dan denda ringan. 

Namun, muncul pertanyaan besar di tengah masyarakat: siapa saja yang dapat dijatuhi pidana kerja sosial dan bagaimana mekanisme penerapannya menurut KUHP baru?

Pidana Kerja Sosial Masuk dalam Jenis Pidana Pokok

KUHP baru secara eksplisit memasukkan pidana kerja sosial ke dalam kategori pidana pokok. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 65 KUHP, yang menyebutkan jenis-jenis pidana utama dalam hukum pidana Indonesia.

Dikutip dari KUHP baru, jenis pidana pokok tersebut adalah:

“Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a terdiri atas:
 a. pidana penjara;
 b. pidana tutupan;
 c. pidana pengawasan;
 d. pidana denda; dan
 e. pidana kerja sosial.”

Selain itu, KUHP juga menegaskan bahwa urutan pidana tersebut menunjukkan tingkat berat dan ringannya hukuman. Dengan dicantumkannya pidana kerja sosial dalam struktur pidana pokok, negara memberikan legitimasi penuh terhadap model pemidanaan berbasis pemulihan dan kemanfaatan sosial.

Siapa yang Bisa Dijatuhi Pidana Kerja Sosial?

Tidak semua tindak pidana dapat dijatuhi hukuman kerja sosial. KUHP baru secara tegas membatasi ruang lingkup penerapan pidana ini. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 85 ayat (1) KUHP.

Bunyi pasalnya menyatakan:

“Pidana kerja sosial dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 tahun dan hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”

Kategori II sendiri merujuk pada pidana denda maksimal sebesar Rp10 juta. Artinya, pidana kerja sosial hanya dapat dikenakan pada pelanggaran atau kejahatan dengan tingkat ancaman relatif ringan, serta berdasarkan pertimbangan hakim dalam putusan akhir.

Dengan aturan ini, pidana kerja sosial diposisikan sebagai alternatif hukuman, bukan hukuman utama untuk kejahatan berat.

Baca Juga: 22 Korban Tewas Kebakaran Ruko Terra Drone Berhasil Diidentifikasi Tanpa Tes DNA

Pertimbangan Hakim Sebelum Menjatuhkan Kerja Sosial

KUHP baru juga memberikan pedoman ketat bagi hakim sebelum menjatuhkan pidana kerja sosial kepada seorang terdakwa. Hakim tidak dapat sembarangan menentukan hukuman ini tanpa mempertimbangkan sejumlah faktor penting.

Beberapa aspek yang wajib dipertimbangkan antara lain:

  • Pengakuan terdakwa atas perbuatannya
  • Kemampuan kerja terdakwa
  • Latar belakang agama, kepercayaan, dan keyakinan politik
  • Kondisi sosial dan ekonomi terdakwa
  • Kemampuan terdakwa dalam membayar pidana denda

Pendekatan ini menunjukkan bahwa pidana kerja sosial tidak hanya bersifat menghukum, tetapi juga mempertimbangkan nilai keadilan dan kemanusiaan.

Durasi dan Mekanisme Pelaksanaan Kerja Sosial

KUHP baru mengatur batas waktu pelaksanaan pidana kerja sosial secara rinci. Hukuman ini tidak boleh dijalankan tanpa kejelasan durasi dan mekanisme.

Menurut ketentuan KUHP:

  • Pidana kerja sosial paling singkat 8 jam
  • Paling lama 240 jam
  • Maksimal 8 jam per hari
  • Dapat diangsur dalam jangka waktu paling lama 6 bulan

Ketentuan tersebut ditegaskan dalam Pasal 85 ayat (5) yang berbunyi: “Pidana kerja sosial dilaksanakan paling lama 8 jam dalam 1 hari dan dapat diangsur dalam waktu paling lama 6 bulan dengan memperhatikan kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan/atau kegiatan lain yang bermanfaat.”

Dengan demikian, pelaksanaan pidana ini tetap memperhatikan keberlangsungan hidup dan pekerjaan terpidana.

Larangan Komersialisasi dan Sanksi Mangkir

KUHP baru menegaskan bahwa pidana kerja sosial tidak boleh dikomersialkan. Artinya, terpidana tidak dapat mengganti kerja sosial dengan uang atau imbalan apa pun karena sifatnya murni sebagai pidana.

Apabila terpidana mangkir tanpa alasan sah, KUHP memberikan konsekuensi tegas. Terpidana dapat:

  • Mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial
  • Menjalani pidana penjara yang semula diganti
  • Membayar denda yang sebelumnya diganti dengan kerja sosial

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga efektivitas dan wibawa hukum.

Pengawasan oleh Jaksa dan Pembimbing Kemasyarakatan

Pelaksanaan pidana kerja sosial tidak dilepas begitu saja. KUHP mengatur bahwa:

  • Pengawasan dilakukan oleh jaksa
  • Pembimbingan dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan

Selain itu, putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana kerja sosial wajib memuat secara jelas:

  1. Lama pidana penjara atau besaran denda yang digantikan
  2. Jumlah jam kerja sosial per hari dan jangka waktu pelaksanaan
  3. Sanksi jika pidana kerja sosial tidak dijalankan

Dengan mekanisme ini, negara memastikan bahwa pidana kerja sosial memiliki kepastian hukum dan pengawasan ketat.

Baca Juga: Terungkap! Bandar Narkoba di Riau Gunakan Rekening Istri, Uang Rp11,3 Miliar Mengalir Sejak 2013 

Lokasi Pelaksanaan Kerja Sosial

Dalam penjelasan Pasal 85, KUHP menyebut bahwa pidana kerja sosial dapat dilakukan di berbagai tempat yang bermanfaat bagi masyarakat, seperti:

  • Rumah sakit
  • Panti asuhan
  • Panti lansia
  • Sekolah
  • Lembaga sosial lainnya

Pelaksanaannya sebisa mungkin disesuaikan dengan profesi dan kemampuan terpidana, sehingga memiliki nilai rehabilitatif dan edukatif.

Mahkamah Agung Jelaskan Peran Hakim

Mahkamah Agung (MA) turut memberikan penjelasan mengenai mekanisme putusan pidana kerja sosial. Ketua Kamar Pidana MA, Prim Haryadi, menegaskan pentingnya kejelasan amar putusan hakim.

Ia mengatakan: “Mengacu kepada Pasal 85 KUHP tersebut, dikatakan bahwa kerja sosial itu tidak boleh lebih dari 6 bulan masanya. Oleh karenanya, hakim dalam menjatuhkan pidana kerja sosial harus menyebutkan dalam satu hari itu berapa jam. Kemudian dalam satu minggu itu berapa hari terdakwa harus melakukan kerja sosial dan menyebutkan di mana tempat kerja sosial itu dilakukan. Apakah di rumah sakit, apakah di rumah-rumah ibadah, gitu ya.”

Prim juga mengungkapkan bahwa MA telah berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung terkait pelaksanaan pidana kerja sosial. 

Menurutnya, Kejagung mengusulkan agar MA hanya mengatur durasi hukuman, sementara lokasi pelaksanaan disesuaikan dengan kondisi daerah. Namun demikian, ia menegaskan bahwa mekanisme final masih dalam tahap pembahasan.

Pidana Kerja Sosial sebagai Wajah Baru Pemidanaan

Dengan diberlakukannya KUHP baru pada 2026, pidana kerja sosial diharapkan menjadi solusi alternatif yang lebih humanis dan efektif. 

Model hukuman ini tidak hanya memberikan efek jera, tetapi juga mendorong tanggung jawab sosial dan pemulihan hubungan antara pelaku, masyarakat, dan negara.

Ke depan, keberhasilan pidana kerja sosial akan sangat ditentukan oleh kesiapan aparat penegak hukum, koordinasi antar-lembaga, serta pemahaman masyarakat terhadap wajah baru sistem pidana Indonesia.

Berita Lainnya

Document