Mahasiswa Indonesia Ditangkap Imigrasi AS karena Dukung Black Lives Matter: Antara Kebebasan Berpendapat dan Ketegangan Diplomatik

2025-04-14 14:44:57

Mahasiswa Indonesia Ditangkap Imigrasi AS karena Dukung Black Lives Matter: Antara Kebebasan Berpendapat dan Ketegangan Diplomatik
Sumber Gambar: https://images.app.goo.gl/jFWZm

FYP Media.id - Pada Tanggal 14 April 2025 - Dunia maya dihebohkan dengan kabar penangkapan dua mahasiswa asal Indonesia oleh agen Imigrasi dan Bea Cukai Amerika Serikat (ICE). Kedua mahasiswa tersebut, salah satunya bernama Aditya Harsono, tengah menempuh studi di sebuah universitas di negara bagian Minnesota. Mereka ditahan setelah diketahui mengikuti sebuah aksi demonstrasi damai mendukung gerakan Black Lives Matter (BLM) di kota Marshall. Penangkapan ini menimbulkan kehebohan, tidak hanya di kalangan mahasiswa Indonesia di luar negeri, tetapi juga di dalam negeri, yang mempertanyakan sejauh mana prinsip kebebasan berpendapat dan berekspresi diterapkan secara adil kepada semua orang di Amerika Serikat termasuk warga asing.


Gerakan Black Lives Matter sendiri merupakan simbol perlawanan terhadap diskriminasi sistemik dan kekerasan terhadap komunitas kulit hitam di Amerika Serikat. Sejak mencuatnya kasus pembunuhan George Floyd oleh polisi Minneapolis pada Mei 2020, BLM berkembang menjadi gerakan global. Demonstrasi demi demonstrasi terus dilakukan, baik oleh warga negara AS maupun para pendukung dari berbagai latar belakang dan kewarganegaraan. Mahasiswa, aktivis HAM, akademisi, hingga tokoh agama turut menyuarakan dukungan. Dalam konteks ini, partisipasi dua mahasiswa Indonesia dalam aksi damai tersebut sebenarnya tidaklah aneh mereka mengekspresikan solidaritas terhadap perjuangan hak asasi manusia.


Namun, respons otoritas AS dalam hal ini ICE terhadap partisipasi mereka justru menuai tanda tanya besar. Penangkapan dilakukan atas dasar pelanggaran status visa dan keterlibatan dalam aksi yang dinilai "mengganggu ketertiban umum", menurut keterangan sementara dari pihak berwenang. Akan tetapi, banyak pihak menilai bahwa penahanan ini memiliki unsur politis dan diskriminatif. Mahasiswa internasional kerap berada dalam posisi rentan secara hukum, terutama ketika mereka terlibat dalam aktivitas politik atau sosial yang tidak disukai oleh otoritas tertentu.


Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia segera merespons kasus ini dengan mengirimkan nota diplomatik dan meminta penjelasan resmi dari pemerintah Amerika Serikat. Melalui siaran pers, juru bicara Kemlu RI menyatakan bahwa Indonesia sangat menyesalkan tindakan penahanan terhadap warganya yang tidak terlibat dalam tindakan kriminal, melainkan hanya menjalankan hak kebebasan berekspresi secara damai. Pemerintah Indonesia juga telah menunjuk pengacara pendamping dan memberikan bantuan hukum kepada kedua mahasiswa tersebut.


Reaksi keras juga datang dari berbagai organisasi masyarakat sipil, baik di Indonesia maupun di Amerika Serikat. Lembaga seperti Amnesty International, Human Rights Watch, dan ACLU (American Civil Liberties Union) turut mengecam penangkapan tersebut. Mereka menyatakan bahwa tindakan ini menunjukkan adanya standar ganda dalam penegakan hukum di AS di mana warga negara asing yang menyuarakan keadilan sosial justru dijerat hukum imigrasi untuk membungkam suara mereka.


Isu ini juga memicu diskusi luas di media sosial, terutama di kalangan diaspora Indonesia. Banyak mahasiswa dan pekerja migran asal Indonesia di AS mulai menyuarakan kekhawatiran tentang keamanan mereka dalam mengekspresikan opini atau bergabung dalam kegiatan sosial. Tak sedikit yang merasa bahwa penangkapan Aditya Harsono dan rekannya menjadi preseden buruk yang dapat menciptakan efek jera terhadap partisipasi warga asing dalam gerakan sosial di AS.


Dalam beberapa hari terakhir, petisi daring yang menyerukan pembebasan kedua mahasiswa tersebut telah mendapatkan puluhan ribu tanda tangan. Aksi solidaritas juga dilakukan oleh komunitas mahasiswa internasional di sejumlah kampus, yang menuntut agar pihak kampus memberikan perlindungan hukum dan advokasi terhadap mahasiswanya yang tengah menghadapi kriminalisasi semacam ini.


Penangkapan ini mencerminkan paradoks besar dalam sistem demokrasi Amerika Serikat. Di satu sisi, negara tersebut menjunjung tinggi kebebasan berbicara dan hak untuk berkumpul, sebagaimana dijamin dalam Konstitusi. Namun, di sisi lain, implementasi nilai-nilai tersebut masih kerap bias dan selektif, terutama ketika menyangkut warga negara asing atau minoritas. Apakah kebebasan berekspresi hanya berlaku bagi mereka yang dianggap “aman” oleh sistem?


Perlu dipahami bahwa mahasiswa asing merupakan bagian dari komunitas intelektual global yang berkontribusi pada keberagaman pemikiran dan pembangunan akademik. Memberikan sanksi terhadap ekspresi damai mereka justru dapat merusak citra AS sebagai negara tujuan pendidikan tinggi dan pusat kebebasan akademik. Alih-alih menindas, seharusnya negara seperti Amerika Serikat membuka ruang dialog yang lebih luas, bahkan terhadap kritik.


Kasus Aditya Harsono dan rekannya tidak hanya menjadi isu individual, melainkan juga menggambarkan ketegangan antara kepentingan politik dan prinsip-prinsip HAM internasional. Dunia kini menunggu: apakah pemerintah AS akan meninjau kembali tindakan aparatnya dan menjamin hak-hak mahasiswa asing untuk berbicara? Atau justru memperkuat citra bahwa demokrasi di sana hanya berlaku bagi segelintir pihak?


Yang jelas, peristiwa ini memberikan pelajaran penting bagi seluruh mahasiswa Indonesia di luar negeri: bahwa perjuangan untuk keadilan sering kali datang dengan risiko. Namun, bukan berarti suara harus dibungkam. Karena di tengah ketidakadilan, diam bukanlah pilihan.


Berita Lainnya

Document