
PPN Direncanakan Naik 12 Persen di 2025, Ini Daftar Barang yang Tidak Terdampak
Financial | 21 Nov 2024 - 13:40 WIB
2025-04-21 12:41:31
Ketegangan geopolitik antara China dan Amerika Serikat memasuki babak baru. Pemerintah China menyatakan secara terbuka bahwa mereka siap mengambil langkah balasan terhadap negara-negara yang bekerja sama secara militer atau ekonomi dengan Amerika Serikat dalam upaya yang dianggap “mengancam kedaulatan dan stabilitas regional.” Peringatan ini disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri China setelah sejumlah negara Asia dan Eropa mempererat hubungan strategis dengan Washington.
Langkah ini dipandang sebagai respons langsung atas strategi Amerika Serikat yang terus memperluas pengaruhnya di kawasan Asia-Pasifik, melalui kerjasama pertahanan, teknologi, dan ekonomi dengan sekutu-sekutunya, seperti Jepang, Korea Selatan, Filipina, Australia, bahkan beberapa negara ASEAN. Beijing melihat manuver ini bukan sebagai bentuk kerja sama biasa, melainkan sebagai upaya pengepungan politik dan militer terhadap China.
Langkah Tegas China
Dalam konferensi pers yang digelar awal pekan ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri China menyatakan bahwa “negara-negara yang secara terbuka memihak pada Amerika Serikat dan terlibat dalam kebijakan konfrontatif akan menghadapi konsekuensi diplomatik dan ekonomi.” Ini termasuk kemungkinan pembatasan perdagangan, pemutusan kerja sama strategis, hingga penerapan sanksi terhadap entitas atau individu dari negara terkait.
China juga dilaporkan tengah menyusun daftar “negara berisiko tinggi” yang akan menjadi target kebijakan luar negeri baru mereka. Negara-negara yang aktif dalam AUKUS (Australia, United Kingdom, dan United States), serta mereka yang terlibat dalam perjanjian QUAD (Quadrilateral Security Dialogue) diperkirakan akan menjadi prioritas dalam daftar tersebut. Bahkan, beberapa negara berkembang yang baru saja menerima investasi dari AS melalui program Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) juga mulai dilirik sebagai “mitra yang harus diwaspadai.”
Perang Dingin Baru?
Pengamat hubungan internasional menyebut situasi ini sebagai gejala awal dari "Perang Dingin Baru." Persaingan strategis antara China dan AS memang sudah berlangsung lama, namun kini telah memasuki fase yang lebih terbuka dan agresif. AS secara terang-terangan menyatakan bahwa kebijakan Indo-Pasifik mereka bertujuan untuk “menjaga keseimbangan kekuatan” di kawasan, sementara China menyebutnya sebagai bentuk “intervensi dan provokasi.”
Bagi China, dominasi di Laut China Selatan dan sekitarnya adalah kunci bagi kestabilan nasional dan ambisi globalnya. Oleh sebab itu, ketika AS mempererat kerja sama militer dengan Filipina—negara yang bersengketa wilayah laut dengan China—Beijing melihatnya sebagai tindakan permusuhan. Tak hanya itu, kerja sama teknologi tinggi antara AS dan Jepang, terutama dalam sektor semikonduktor, juga dianggap mengancam kekuatan industri China.
Risiko bagi Negara Mitra AS
Negara-negara yang mempererat hubungan dengan AS kini dihadapkan pada dilema strategis. Di satu sisi, mereka membutuhkan perlindungan dan bantuan ekonomi dari Amerika Serikat, terutama dalam menghadapi ancaman regional atau meningkatkan kapasitas teknologi. Di sisi lain, mereka tak bisa mengabaikan kekuatan ekonomi dan pengaruh pasar dari China.
Banyak negara ASEAN, seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand, selama ini menerapkan strategi keseimbangan—tidak secara terbuka memihak salah satu kubu, namun tetap menjalin hubungan baik dengan keduanya. Namun, dengan meningkatnya tekanan dari kedua pihak, posisi “netral” ini makin sulit dipertahankan.
Jika China benar-benar menerapkan sanksi terhadap negara-negara yang dianggap terlalu dekat dengan AS, maka dampaknya bisa sangat besar. China adalah mitra dagang utama bagi sebagian besar negara Asia, dan tekanan ekonomi dari Beijing bisa memicu guncangan besar bagi stabilitas ekonomi kawasan.
Respons Internasional
Amerika Serikat sendiri belum memberikan tanggapan resmi terhadap pernyataan China tersebut. Namun, Gedung Putih melalui perwakilan Dewan Keamanan Nasional menyatakan bahwa “kerja sama dengan sekutu dan mitra strategis adalah hak kedaulatan masing-masing negara dan tidak boleh dijadikan alasan untuk intimidasi atau pembalasan ekonomi.”
Uni Eropa dan beberapa negara NATO juga mengeluarkan pernyataan senada, menyuarakan kekhawatiran bahwa langkah-langkah balasan dari China bisa memperburuk ketegangan global dan merusak stabilitas ekonomi internasional.
Arah Masa Depan
Konflik antara China dan AS bukan hanya tentang dua negara besar yang bersaing. Ini adalah pertarungan pengaruh global yang melibatkan banyak negara sebagai pion atau sekutu. Jika eskalasi ini terus berlanjut, dunia bisa menyaksikan pembentukan blok-blok kekuatan baru seperti era Perang Dingin, yang akan mempengaruhi arah ekonomi, politik, dan keamanan global untuk dekade ke depan.
Dalam situasi seperti ini, diplomasi dan keseimbangan menjadi kunci. Negara-negara di Asia dan sekitarnya harus cermat menavigasi pilihan-pilihan strategisnya—karena satu langkah salah bisa berarti kehilangan mitra dagang, keamanan, atau bahkan kedaulatan.
Baca juga : 4 Calon Kuat Penerus Paus Fransiskus, dari Filipina hingga Afrika
Baca juga : Titiek Puspa Tutup Usia di 87 Tahun karena Pendarahan Otak, Kenali Kondisi Ini Lebih Dekat
Pewarta : Hamzah
PPN Direncanakan Naik 12 Persen di 2025, Ini Daftar Barang yang Tidak Terdampak
Financial | 21 Nov 2024 - 13:40 WIB
Internasional | 23 Apr 2025 - 10:25 WIB
Internasional | 22 Apr 2025 - 11:41 WIB
Internasional | 21 Apr 2025 - 12:41 WIB
Lifestyle | 21 Apr 2025 - 11:39 WIB
Internasional | 21 Apr 2025 - 11:21 WIB
Internasional | 02 Sep 2024 - 11:55 WIB
Lifestyle | 04 Sep 2024 - 19:37 WIB
Entertainment | 04 Sep 2024 - 20:18 WIB
Entertainment | 05 Sep 2024 - 18:43 WIB