197 Calon Haji di Tangsel Gagal Berangkat ke Tanah Suci: Harapan yang Tertunda, Doa yang Tak Pernah Usai

2025-04-25 22:50:14

197 Calon Haji di Tangsel Gagal Berangkat ke Tanah Suci: Harapan yang Tertunda, Doa yang Tak Pernah Usai
Sumber Gambar: METRO TV

Setiap tahun, keberangkatan jemaah haji dari Indonesia selalu diselimuti haru. Ada air mata bahagia saat kaki menginjak pesawat, ada pelukan erat keluarga yang mengantar dengan doa, dan ada pula secercah harapan yang menggantung tinggi: pulang sebagai haji mabrur. Namun, tahun ini, 197 calon haji asal Tangerang Selatan harus menelan kenyataan pahit. Mereka dinyatakan gagal berangkat ke Tanah Suci.

Bukan karena kurangnya niat. Bukan pula karena belum siap secara finansial. Justru sebagian besar dari mereka sudah bertahun-tahun menabung, mencicil biaya, bahkan ada yang mendaftar sejak anak-anak mereka masih kecil. Tapi rencana Tuhan berkata lain. Pemeriksaan kesehatan menjadi tembok yang tak bisa dilompati. Syarat istitha’ah kemampuan fisik dan mental untuk menjalankan ibadah haji menjadi penyebab utama dari kegagalan ini. Pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan, memperketat aturan demi keselamatan jemaah. Bagi sebagian orang, aturan ini menyelamatkan. Namun bagi 197 orang ini, ia menjadi akhir dari penantian panjang yang tak berujung bahagia.

Bayangkan seorang ibu berusia 65 tahun yang selama ini menabung dari hasil menjahit, mengumpulkan rupiah demi rupiah. Ia telah membeli kain ihram, mengikuti manasik haji, dan mulai membayangkan wangi Masjidil Haram. Tapi saat hasil pemeriksaan keluar, ia harus mendengar kalimat yang tak pernah diharapkan: “Ibu belum bisa berangkat tahun ini.”

Ada pula pasangan lansia yang sudah berjanji akan beribadah haji bersama, tangan dalam tangan, di bawah langit Mekah. Tapi kini, salah satunya gagal berangkat karena tekanan darah yang tak kunjung stabil. Haruskah yang lain pergi sendiri, atau menunggu tahun berikutnya agar bisa bersama? Ini bukan sekadar soal tiket atau antrean. Ini tentang mimpi yang tertunda, harapan yang belum sampai, dan air mata yang jatuh dalam diam.

Pihak Kementerian Agama Kota Tangerang Selatan mengaku telah melakukan berbagai upaya, dari edukasi kesehatan hingga pemeriksaan dini. Tapi kesehatan adalah hal yang tak bisa ditebak. Bahkan mereka yang terlihat bugar pun kadang menyimpan penyakit dalam diam. Ada yang sudah rutin periksa, ada pula yang baru tahu ada penyakit bawaan saat pemeriksaan menjelang keberangkatan.

Prosedurnya memang ketat, dan harus begitu. Ibadah haji bukan perjalanan biasa. Di tanah suci, cuaca ekstrem, mobilitas tinggi, dan kepadatan jutaan manusia bisa jadi risiko besar bagi mereka yang tidak dalam kondisi prima. Pemerintah tidak ingin ada tragedi. Tidak ingin ada jemaah yang sakit parah atau bahkan wafat karena memaksakan diri. Tapi tetap saja, keputusan ini berat. Apalagi ketika yang terdampak adalah mereka yang sudah menunggu belasan tahun.

Pertanyaannya kini bukan lagi “kenapa tidak bisa berangkat?”, tetapi “bagaimana menguatkan hati yang patah?”. Pemerintah memastikan bahwa jemaah yang gagal tahun ini tetap masuk prioritas tahun depan. Tidak ada yang hangus. Tapi tentu, usia tak bisa ditahan. Kesehatan bisa semakin menurun. Dan harapan, meskipun masih menyala, kini harus menunggu waktu yang entah kapan datangnya.

Kisah ini menyentuh kita semua. Bukan hanya karena jumlahnya yang besar, tapi karena di balik angka “197” itu, ada wajah-wajah tulus yang telah menggantungkan doa. Ada suami-istri yang berjanji akan bertemu Allah di Arafah. Ada anak yang ingin menghajikan orang tuanya sebagai tanda bakti terakhir. Dan ada mereka yang menjadikan haji sebagai cita-cita hidup yang tak tergantikan.

Sebagai masyarakat, kita bisa belajar dari peristiwa ini. Bahwa menyiapkan haji bukan sekadar menyisihkan uang dan mengurus dokumen. Tapi juga menjaga tubuh, memeriksakan diri, dan memperhatikan kesehatan sejak dini. Daftar haji di usia muda bukan hanya soal mempercepat antrean, tapi juga tentang memastikan kita cukup kuat untuk menjalankannya ketika waktunya tiba.

Untuk para calon haji yang tertunda, semoga hati kalian diberi kekuatan. Tertundanya langkah bukan berarti doa tak dikabulkan. Barangkali Allah sedang menyiapkan waktu yang lebih indah, kondisi yang lebih baik, atau perjalanan yang lebih sempurna. Karena sejatinya, haji adalah panggilan. Dan saat Allah memanggil, tak satu pun bisa menghalangi.

Dan untuk kita semua, semoga kisah ini menjadi pengingat bahwa ibadah haji adalah puncak dari persiapan jiwa, raga, dan iman. Bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang memerlukan ketulusan, kesabaran, dan kepasrahan sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa.

Berita Lainnya

Document