Datang ke Mal Hanya Lihat-lihat, Apakah Kita Sedang Krisis?

2025-07-28 15:33:31

Datang ke Mal Hanya Lihat-lihat, Apakah Kita Sedang Krisis?
Sumber Gambar: fypmedia.id

Fenomena "rojali" atau rombongan jarang beli kembali menjadi sorotan publik. Istilah ini menggambarkan kelompok masyarakat yang datang berkunjung ke pusat perbelanjaan, namun jarang melakukan pembelian. Apakah ini cerminan melemahnya daya beli atau hanya tren sosial pasca pandemi?

Badan Pusat Statistik (BPS) menegaskan bahwa fenomena ini belum tentu mencerminkan kemiskinan. Menurut Direktur Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, fenomena rojali lebih cocok disebut sebagai gejala sosial yang menandakan adanya tekanan ekonomi, terutama pada kelas masyarakat rentan.

“Fenomena rojali relevan sebagai gejala sosial, tetapi mungkin ada tekanan ekonomi terutama pada kelas masyarakat yang rentan,” ujar Ateng, Jumat (26/7/2025).

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2025, kelompok masyarakat menengah ke atas memang menunjukkan kecenderungan untuk menahan konsumsi. Namun, kelompok ini dinilai tidak berdampak langsung pada tingkat kemiskinan.

Ateng menilai bahwa rojali adalah sinyal penting bagi para pembuat kebijakan, agar tidak hanya fokus menurunkan angka kemiskinan, melainkan juga menjaga ketahanan konsumsi rumah tangga di berbagai lapisan masyarakat. Sayangnya, survei BPS saat ini belum secara spesifik mengkaji kelompok rojali, sehingga diperlukan pendalaman lebih lanjut untuk memahami siapa sebenarnya mereka—apakah masyarakat miskin, menengah, atau justru kelas atas.

Sementara itu, Menteri Perdagangan Budi Santoso memandang fenomena rojali sebagai hal yang wajar dalam perilaku konsumen modern. Ia berpendapat, masyarakat saat ini cenderung membandingkan harga dan kualitas barang di toko fisik dengan toko daring sebelum mengambil keputusan membeli.

“Ya bebas saja masyarakat melakukan itu. Mereka mencari harga terbaik,” kata Mendag.

Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Solihin, mengakui bahwa pelaku usaha memang tidak bisa mengendalikan fenomena rojali. Bahkan, menurutnya, banyak orang datang ke mal hanya untuk melihat-lihat saja, tapi belanjanya dilakukan di tempat lain seperti pasar tradisional atau pusat grosir seperti Mangga Dua.

Meski begitu, fenomena rojali tidak serta-merta berdampak negatif untuk seluruh sektor usaha. Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah, menyebut bahwa justru sektor makanan dan minuman mengalami peningkatan omzet berkat kebiasaan rojali ini.

Berita Lainnya

Document